Pengertian dan Sejarah Singkat Gebug Ende



Musim kemarau kala itu di desa Seraya Karangasem belum berahir.Hujan yang dinanti-nanti berlum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun.Bagi masyarakat di desa Seraya kondisi ini
sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan
meski berada pada daerah kering.Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai
petani.Tentunya masyarakat di daerah tersebut tidak akan tenang dan bissa diam dengan
keadaan seperti itu.
Ahirnya mereka melakukan suatu rapat untuk menjalankan suatu tradisi yang sangat sakral
yang mungkin dapat mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan.Dari hasil paruman
desa,tercetuslah ide untuk melaksanakan ritual yang bernama “GEBUG ENDE”.
Gebug Ende adalah salah satu tradisi yang unik dan diyakini oleh masyarakat sekitar dapat
membantu masalah mereka mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan,tentunya
tradisi ini sudah berjalan lama secara turun temurun dan menjadi kepercayaan masyarakat
setempat.


1.      Pengertian Gebug Ende :
Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya.Gebug Ende berasal dari kata
Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul dan Ende berarti alat yang digunakan untuk
menangkis (tameng).Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang
sekitar 1,5 centi meter hingga 2 meter.Sedangkat alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit
sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran.Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu tarian/permainan yang menjadi tradisi
masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak
yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan
menyerang.Tehnik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.
2. Sejarah Singkat Gebug Ende :
Konon zaman dahulu krama desa Seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang
ditugaskan untuk menggempur atau menyerang sebuah kerajaan di Lombok Barat yaitu
Kerajaan Seleparang.Karena pada waktu itu orang” asli Seraya kebal(kuat) sehingga
dijadikan benteng oleh raja Karangasem sehingga Kerajaan Seleparang takluk terhadap
Kerajaan Karangasem.
Belum puas berperang menghadapi musuh dan smangat ksatria masih berkobar maka
bertarunglah dengan teman-temannya sendiri ,saling menyerang (memukul dan menangkis
dengan alat yang dibawa).Seiring perkembangan zaman maka terciptalah tarian/permainan
Gebug Ende yang secara turun temurun dapat dimainkan dan disaksikan hingga
kini.Tombak,pedang dan tameng yang digunakan pada zaman dahulu diganti dengan
peralatan rotan dan ende.
Selain itu Di Desa Seraya merupakan daerah kering dan disertai dengan musim kemarau yang
tak kunjung berahir.Hujan yang dinanti oleh masyarakat setempat belum juga menunjukkan
tanda-tanda akan turun.Sehingga dari hasil parum desa tercetuslah untuk melaksanakan ritual
memohon turunnya hujan yakni dengan mengadakan Gebug Ende.Menurut Kepercayaan
masyarakat tarian ini dianggap suci atau sakral,lebih-lebih disaat tarian/permainan
berlangsung salah seorang bisa memukul bagian tubuh lawan hingga mengeluarkan darah
maka akan cepat turun hujan.
3. Cara Memainkan Gebug Ende :
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar.Tidak ada ukuran
yang pasti untuk menentukan tempatnya namun disesuaikan dengan kondisi arealnya
saja.Sementara untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan dapat
diberi pembatas seperti dengan tali ataupun bambu sebagai pagar pembatas.Sebelum
permainan dimulai para juru banten biasanya melaksanakan ritual permohonan berkat agar
permainan Gebug Ende ini dapat berjalan lancar dan memberikan kemakmuran bagi krama
Seraya pada khususnya.
Setelah persiapan rampung akhirnya permainanpun segera dilangsungkan.Pembukaan diawali
dengan ucapan selamat datang untuk para pemain dan penonton.Selain itu terselip pula
pembekalan bagi para pemain untuk selalu mengedepankan kejujuran dan
sportifitas.Tetabuhan gamelan menambah semarak dan khidmatnya permainan .Dua orang
wasit yang disebut saya (baca:saye) berperan sebagai peminpin pertandingan.Mereka inilah
yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.Sebelum permainan mulai
saya(wasit) terlebih dahulu yang memperagakan tarian Gebug Ende tersebut dan
memberitahu uger-uger atau batasan yang harus ditaati oleh para pemain.Uger-uger tersebut
diantaranya :
Pemain hanya boleh memkul diatas pinggang sampai kepala.
Tidak boleh memukul di bawah pinggang sampai kaki.
Permainan dapat usai bilamana satu pemain terdesak.
Ditengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang digunakan
membagi lapangan menjadi 2 bagian.Kali pertama diawali dengan kelompok anakanak.
Tidak tampak ketakutan pada tubuh kecil itu,ende dan rotan pun ditarikan.Betapa
sakitnya apabila bekas cambukan tergores dibadan.Usai kelompok anak-anak,tibalah giliran
pria dewasa.Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan yang ada hanyalah kerasnya
pukulan dan kelihaian menangkis pukulan.
4. Tujuan Dari Gebug Ende :
Menurut bendesa pakraman seraya,selain melestarikan tradisi yang mesti diwarisi secara
turun temurun Gebug Ende adalah merupakan permainan/tarian sukacita penduduk desa
Seraya bertujuan memohon hujan kepada pencipta alam ini.Unsur olahraga sangat ditekankan
dalam permainan ini yakni kekuatan fisik untuk melakukan pukulan serta kelincahan untuk
menangkis.Selain Gebug Ende disakralkan tradisi ini juga diwariskan kepada generasi muda
sebagai tari perang.Sehingga pada tiap tanggal 1 Agustus kerap diselenggarakan untuk
memeriahan HUT RI.
5. Costum Pemain/Penari :
Ikat kepala (destar) warna merah,merah sebagai simbol keberanian
Kain/Kamben
Saput hitam putih (poleng)
Iringan Tari/Tabuh :
Satu pasang kendang cedugan
Ceng-ceng rincik
Tawa-tawa
Emat buah reong
Seruling
Dan kempur

Terima Kasih Telah Berkunjung
Judul: Pengertian dan Sejarah Singkat Gebug Ende
Ditulis Oleh : Addinfobaru
Jika Mengutip Artikel Harap Cantumkan Link Aktif Ke Artikel => Pengertian dan Sejarah Singkat Gebug Ende ! Artikel Ini di Lindungi DMCA. Terima Kasih Atas Perhatian Sobat!
Artikel Terkait
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Komentar Dengan Sopan dan Santun